Welcome to "Hukum Kesehatan"

Blog ini khusus menyajikan informasi seputar masalah hukum dan kesehatan..

Sabtu, 11 Juni 2011

Serial HUKUM KESEHATAN : RAHASIA MEDIK

     Rahasia Medik adalah adalah segala sesuatu yang dianggap rahasia oleh pasien yang terungkap dalam hubungan medis dokter-pasien baik yang diungkapkan secara langsung oleh pasien (subjektif ) maupun yang diketahui oleh dokter ketika melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang ( objektif). Rahasia medis ini juga sering disebut sebagai rahasia jabatan dokter yang timbul karena menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter.
       Rahasia medis merupakan hak pasien yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Pelanggaran terhadap hak pasien ini merupakan sebuah kejahatan yang dapat dimintai pertanggung jawaban hukum. Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
  1. Pasal 57 UU No.36/ 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan
  2. Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran
  3. Pasal 32 (i) UU No,44 Tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
        Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut diancam pidana kurungan badan sebagai mana yang diatur dalam pasal 322KUHP yang mengatakan : " barang siapa yang dengan sengaja membuka rahasia yang wajib ia simpan karena jabatannya atau karena pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah.

       Rahasia medis ini hanya dapat dibukan oleh rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam hal telah mendapatkan persetujuan dari pasien yang bersangkutan, demi untuk kepentingan orang banyak atau untuk kepentingan penegakan hukum. 
        Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka semua rahasia medis yang tertuang dalam rekam medik adalah menjadi hak sepenuhnya dari pasien yang bersangkutan dan oleh sebab itu maka berkas rekam medik perlu di jaga kerahasiaanya agar tidak dengan mudah di baca oleh pihak-pihak yang tidak berkompeten untuk mengetahui rahasia medis pasien tersebut. Di  beberapa negara yang menganut kebebasan mutlak melaksanakan perlindungan rahasia medik dengan sangat ketat, sehingga rekam medik menjadi sangat konfidensial. Seorang suami tidak dengan mudah mendapatkan isi rekam medik istrinya ataupun sebaliknya jika oleh suami atau istri tersebut menyatakan bahwa hal tersebut konfidens bagi pasangannya. Sebegitu ketatnya perlindungan rahasia medis tersebut , terkadang sampai meninggalpun rahasia tersebut tetap tersimpan rapi.      




Rabu, 08 Juni 2011

Hukum Kesehatan

        Hukum kesehatan adalah semua ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yang mengatur hak dan kewajiban individu, kelompok atau masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan pada satu pihak, hak dan kewajiban tenaga kesehatan dan sarana kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan di pihak lain yang mengikat masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian terapeutik dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan lainnya yang berlaku secara lokal, regional, nasional dan internasional.
        Berdasarkan hal tersebut diatas, maka hukum kesehatan dapat di kelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1. Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan yaitu antara lain :
    a. UU No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan yang telah diubah menjadi UU No 36/2009 tentang Kesehatan
    b. UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran
    c. UU No, 44/ 2009 tentang Rumah sakit
    d. PP  No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan
    e. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi
    f. dll
2. Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait dengan pelayanan Kesehatan antara lain:
   a. Hukum Pidana
       Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 359 KUHP
       tentang kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana bagi tenaga kesehatan atau sarana kesehatan
       yang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan pasien mengalami cacat, gangguan
       fungsi organ tubuh atau kematian akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukannya.
   b. Hukum Perdata.
       Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal 1365 KUHPerd.
       mengatur tentang kewajiban hukum untuk mengganti kerugian yang dialami oleh pasien akibat adanya
       perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan
       sarana kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap pasien
   c. Hukum Administrasi
      Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
      maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum adminstrasi yang menyebabkan kerugian pada
      pada pasien menjadi tanggung jawab hukum dari penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut
3. Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional
    a, Konvensi
    b.Yurisprudensi
    c. Hukum Kebiasaan
4. Hukum Otonomi
    a. Perda tentang kesehatan
    b. Kode etik profesi





















 

Selasa, 26 April 2011

Asas legalitas dalam Pertanggung jawaban Pidana Dokter

          Untuk menuntut pertanggung jawaban pidana seorang dokter harus mengacu pada dua asas hukum pidana yaitu asas legalitas.  Asas legalitas hukum pidana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengatakan bahwa " tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada ". Bertolak dari rumusan tersebut, maka untuk menuntut perbuatan pidana seorang dokter terhadap pasiennya dalam hubungan medis, terlebih dahulu perbuatan tersebut telah dilegalkan sebagai sebuah perbuatan pidana yang diatur dalam ketentuan-ketentuan atau perundang-undang yang berlaku, sebelum perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh dokter yang bersangkutan.  Jika perbuatan tersebut belum diatur sebelumnya (legalitas), maka kepada dokter yang melakukan suatu  perbuatan atau tindakan medis tidak dapat disangkakan sebagai perbuatan pidana. Secara sederhananya dapat dikatakan bahwa selama perbuatan tersebut belum termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang diatur oleh undang-undang tidak boleh dianggap sebagai perbuatan pidana.
             Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 4/2004, tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa " tiada seorangpun diperhadapkan di muka pengadilan selain daripada yang di tentukan oleh undang-undang ". Menurut ketentuan aturan tersebut, maka untuk menuntut perbuatan pidana seorang dokter haruslah kepadanya dapat dibuktikan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut yang memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur dalam ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku.
          Unsur-unsur untuk menilai perbuatan pidana yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya adalah :
1). Harus ada perbuatan atau tindakan dokter ( handeling )
     Bahwa kerugian atau penderitaan yang dialami oleh pasien benar terjadi karena perbuatan dokter dan bukan karena sebab yang lain. Selanjutnya kerugian atau penderitaan yang dialami oleh pasien benar terjadi akibat perbuatan seorang dokter atau tim dokter yang secara nyata melakukan perbuatan yang memenuhi unsur pidana yang kepada dokter atau tim dokter tersebut dapat di ancam pidana. Menuntut  pidana seorang atau tim dokter harus secara tepat sasaran dan bukan asal sekedar main tunjuk saja tanpa bukti atau fakta bahwa dokter atau tim dokter tersebut terlibat dalam peristiwa pidana yang dialami oleh pasien
2). Perbuatan dokter tersebut harus melawan hukum
    Perbuatan  pidana yang disangkakan pada seorang dokter haruslah haruslah oleh hukum dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. disini harus berlaku asas legalitas. Dalam melakukan penuntutan pidana ini penyidik harus mampu membuktikan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hubungan profesional dokter-pasien.( pasal 1320 KUHPerdata)
3). Perbuatan yang dilakukan seorang dokter diancam pidana oleh-undang-undang
     Untuk menuntut pertanggung jawaban pidana seorang dokter terhadap pasiennya ,maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang oleh hukum dianggap sebagai perbuatan pidana dan memiliki ancaman pidana
4). Pebuatan tersebut dilakukan oleh seorang dokter yang mampu bertanggung jawab sebagai subjek hukum. Seorang dokter yang karena satu dan lain sebab yang oleh hukum dianggap hilang haknya sebagai subjek hukum, maka tindakan atau perbuatan atau tindakan  yang dilakukannya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban hukum .
5). Perbuatan dokter tersebut terjadi karena kesalahan.
     Terjadinya perbuatan pidana yang menimbulkan kerugian ataupun penderitaan bagi pasien harus terjadi karena adanya unsur kesalahan.  Kesalahan yang dimaksud adalah adanya unsur kesengajaan didalamnya atau karena kelalaiannya sebagai seorang profesional yang menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien. Jika kerugia atau penderitaan tersebut dilakukan dalam upaya darurat atau kritis untuk menolong menyelamatkan jiwa pasien yang bersangkutan , dokter tidak dapat dipersalahkan.
     




Senin, 25 April 2011

INFORMED CONSENT



     “ Informed Consent “  adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan Consent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dari informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.
     Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86)  disebutkan sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan /    persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.”
     Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktek Kedokteran  yang menegaskan sebagai berikut :
(1)  Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2)  Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan lengkap
(3)  Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a.    Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b.    Tujuan tindakan medis dilakukan
c.    Alternatif tindakan lain dan resikonya
d.    Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e.    Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
     Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di terima oleh pasien. Karena  pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya .
     Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas maka Informed Consent bukan hanya sekedar  mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah proses komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tetang dapat tidaknya dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika porses komunikasi intesif ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter sebagai pemberi pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan maka hal tersebut dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak,demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses komunikasi ini terjadi dan ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk menghargai keputusan tersebut dan meminta pasien untuk menandatangani surat pernyataan menolak tindakan medik .  jadi informed Consent adalah sebuah proses bukan hanya sekedar mendapatkan tandatangan lembar persetujuan tindakan.
     Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa atau istilahistilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan terjadinya mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111) mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a.    Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b.    Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c.    Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d.    Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e.    Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan
     Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan ternyata pasien gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan , tidaklah berari bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total tetapi dokter harus tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk pasien berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menolong menyembuhkan atau meringankan sakit pasien.

Minggu, 24 April 2011

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi rumah sakit


Rumah sakit adalah sebuah organisasi penyelenggara pelayanan publik yang dituntut untuk menyelenggarakan jasa pelayanan medis yang bermutu bagi masyarakat. Penyelenggaraan fungsi pelayanan publik rumah sakit sangat ditentukan oleh aspek internal dan eksternal dari rumah sakt itu sendiri.  Faktor internal rumah sakit sangat terkait dengan  pengembangan sistem manajemen SDM rumah sakit  yang mengatur peran dan fungsi dari masing-masing jenis tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit tersebut. Hal ini penting karena inti pelayanan rumah sakit  dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang bemutu adalah adalah hamonisasi dari peran dan fungsi  tenaga profesional yang terlibat pada rumah sakit tersebut  dalam menyelenggrakan jasa pelayanan   kesehatan.. Fungsi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit akan menjadi optimal jika setiap tenaga kesehatan menurut jenis profesinya bekerja sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, standar operasional prosedur dan standar profesinya sebagai mana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik
           Faktor ekternal yang berpengaruh teradap efektifitas fungsi pelayanan kesehatan rumah sakit adalah faktor  lingkungan rumah sakit . Faktor lingkungan rumah sakit yang berperan dalam efektifitas pelayanan rumah sakit tersebut meliputi lingkungan hukum dan perundang-undangan,  politik,  ekonomi dan sosial budaya.sebagai kekuatan eksternal yang dapat memacu atau menghambat pelaksanaan fungsi rumah sakit.
         Lingkungan Hukum memegang peranan penting dalam meregulasi fungsi-fungsi pelayanan rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.  Hukum dapat memainkan perannya sebagai sarana sosial control (social control) dalam masyarat yang melakukan pengawasan terhadap rumah sakit dalam menjalankan fungsinya dan juga hukum dapat berperan sebagai sarana pengubah ( social engineering) bagi rumah sakit dalam menjalankan fungsi pelayanannya sesuai dengan standar-standar pelayanan kesehatan dan kedokteran nasional dan internasional yang harus diterima oleh pasien dan masyarakat sebagai pengguna pelayanan rumah sakit. . 
Lingkungan politik juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan fungsi-fungsi pelayanan kesehatan rumah sakit. Representasi lingkungan politik diwujudkan dengan political will pemerintah dalam membuat aturan-aturan yang terkait dengan fungsi pelayanan kesehatan rumah sakit tersebut. Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan derajat kesehatan dengan memberikan subsidi pembiayaan kesehatan tidaklah berarti bahwa harus melanggar norma-norma hukum dan aturan yang melekat pada pelayanan kesehatan. Haruslah dipahami bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam pelayanan kesehatan        ( rule of the game ) rumah sakit cenderung bersifat lex specialist, sehingga harus ada sinkronisasi antara kepentingan pasien disatu pihak dan rumah sakit di pihak yang lain. Antara kepentingan politik dan kepentingan hukum seyogyanya berjalan seiring.
Linkungan ekonomi memberikan kontribusi dalam pengembangan fungsi pelayanan rumah sakit. Bagi rumah sakit yang padat modal lebih leluasa untuk mengembangkan pelayanan rumah sakit melalui penyediaan alat-alat kedokteran dan kesehatan mutakhir, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dalam hal pengembangan sarana dan prasarana rumah sakit , melakukan riset dan penelitian ilmiah serta pengembangan sumber daya manusia kesehatan yang bekerja pada rumah sakit tersebut. Dampak dari pengembangan tersebut adalah besarnya beban pembiayaan kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pasien dan masyarakat untuk menikmati pelayanan kesehatan yang bermutu. Meskipun pelayanan kesehatan yang disajikan oleh rumah sakit sedemikian cangkihnya namun tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar orang karena tingginya biaya kesehatan merupakan sebuah kesia-siaan.
Lingkungan budaya masyarakat khusunya dalam perilaku mencari pelayanan kesehatan juga berperan dalam pengembangan fungsi pelayanan kesehatan. Adanya budaya masyarakat tertentu yang menganngap tabu untuk bersentuhan dengan rumah sakit atau budaya memilih  rumah sakit sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan pelayanan kesehetan ,sangat mempengaruhi efektifitas fungsi pelayanan rumah sakit di daerah tersebut.
          Fungsi-fungsi pelayanan rumah sakit dapat di temui  dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009  Tentang Rumah Sakit ,antara lain :
1.    Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
2.    Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
3.    Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
4.    Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Jumat, 22 April 2011

Tanggung jawab pelayanan publik rumah sakit


          Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan publik. yang mempunyai tanggung jawab publik atas setiap pelayanan jasa publik kesehatan yang diselenggarakannya. Tanggung jawab publik rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau berdasarkan prinsip aman, menyeluruh, non diskriminatif, partisipatif dan memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan ( health receiver) , juga bagi penyelenggara pelayanan kesehatan ( health receiver)  demi untuk mewujukan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
       Kesehatan sebagai jasa publik adalah hak asasi manusia di bidang kesehatan yang harus di hormati dan dijunjung tinggi oleh setiap penyelenggara pelayanan kesehatan baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, kelompok atau individu. Penghomatan akan hak asasi manusia ini tertuang dalam Pasal 28 ayat(1)  UUD 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan dan dalam pasal 4 UU No.3/2009 tentang kesehatan yang mengatakan bahwa kesehatan adalah setiap orang.     
      Tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, tentang pelayanan publik yaitu mengatur tentang tujuan pelaksanaan pelayanan publik , antara lain :   
a)       terwujudnya batasan  dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
b)      Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik
c)      Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan
d)      terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
   Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam UU No.25/2009  , juga diatur dalam ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 , tentang rumah sakit ,yang mengatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari aspek etika profesi, hukum adminstrasi, hukum perdata dan hukum pidana.
 Dasar hukum pertanggung jawaban rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien yaitu adanya hubungan hukum antara rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan dan pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan. Hubungan hukum tersebut lahir dari sebuah perikatan atau perjanjian tentang pelayanan kesehatan , sehingga lazim disebut perjanjian terapeutik.
Hubungan hukum rumah sakit-pasien adalah sebuah hubungan perdata yang menekankan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak secara timbal balik. Rumah sakit berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien berkewajiban memenuhi hak-hak rumah sakit. Kegagalan salah satu pihak memenuhi hak-hak pihak lain, apakah karena wanprestasi atau kelalaian akan berakibat pada gugatan atau tuntutan perdata yang berupa ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh pasien.
  Meskipun pertanggung jawaban hukum rumah sakit terhadap pasien dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan lahir dari  hubungan hukum perdata, tetapi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tersebut juga berimplikasi pada hukum adminstrasi dan hukum pidana.
 Implikasi hukum administrasi dalam hubungan hukum rumah sakit-pasien adalah menyangkut kebijakan –kebijakan ( policy ) atau ketentuan-ketentuan yang merupakan syarat adminsitrasi pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan atau ketentuan hukum adminstrasi  tersebut  mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang layak  dan pantas sesuai dengan standar pelayanan  rumah sakit, standar operasional dan standar profesi. Pelanggaran terhadap kebijakan atau ketentuan hukum adminstrasi dapat berakibat sanksi hukum administrasi  yang dapat berupa pencabutan isin usaha atau pencabutan status badan hukum bagi rumah sakit, sedangkan bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya dapat berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan surat ijin praktek, penundaan gaji berkala atau kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi.
Implikasi hukum pidana hubungan hukum rumah sakit- pasien dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan pidana. Perbuatan pidana rumah sakit terhadap pasien dapat berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleg dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang menyebabkan demage pada tubuh korban, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut merupakan suatu kesengajaan . perbuatan pidana ini akan melahirkan tanggung jawab pidana berupa denda dan pencabutan ijin operasional rumah sakit


 
       

hak-hak dan kewajiban Rumah sakit Menurut UU No. 44/2009


Hak-hak rumah sakit adalah segala sesuatu yang menjadi kepentingan rumah sakit yang dilindungi oelh hukum sedangkan kewajiban-kewajiban rumah sakit adalah segala sesuatu yang menjadi beban atau tanggung jawab rumah sakit untuk melaksanakannya demi untuk memenuhi apa yang menjadi hak orang lain. Tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak.
Hak Mengandung empat unsur yaitu :
1.    Subjek Hukum
Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan dibebani kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban ini disebut kewenangan hukum
2.    Objek Hukum
Objek Hukum adalah segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan diadakannya hubungan hukum
3.    Hubungan Hukum
Hubungan hukum terjadi karena adanya peristiwa hukum
4.    .Perlindungan Hukum
Segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan  hukum,sehingga kepentingannya terlindungi
            setiap upaya pelayanan medis yaitu  pengobatan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan  yang diberikan oleh rumah sakit terhadap pasien adalah wujud pelaksaan dari kewajiban rumah sakit memenuhi hak-hak pasien. Sebaliknya  kewajiban pasien untuk memberikan informasi medis yang dibutuhkan , mengikuti nasihat dan pertunjuk dokter yang merawatnya, mengikuti peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh rumah sakit dan juga termasuk memberi imbalan jasa terhadap pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit dan dokter adalah rangkaian untuk memenuhi hak-hak  rumah sakit.
         Pelaksanaan Hak dan kewajiban antara rumah sakit dan pasien atau sebaliknya  merupakan sebuah tanggung jawab yang lahir dari hubungan hukum diantara keduanya.  Hubungan hukum tersebut berupa perikatan atau perjanjian dalam upaya pelayanan medis ( perjanjian terapeutik ) yang disepakati oleh rumah sakit sebagai pemberi pelayanan medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medis. Untuk memenuhi persyaratan hubungan hukum, maka  masing-masing pihak bertindak sebagai subjek hukum yaitu pihak yang mampu memenuhi kewajibannya yang menjadi hak  pihak lain dan sebaliknya. yang menerima hak-haknya yang menjadi kewajiban pihak lain untuk memenuhinya.
      Rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan  mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajban dalam hubungan hukum perjanjian terapeutik dengan pasien sebagaimana yang diatur dalalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit yaitu :  

a.    Hak-Hak Rumah Sakit ( Pasal 30 UU No.44 tahun 2009)
1.  Menentukan jumlah , jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan kualifikasi rumah sakit
2.    Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan renumerasi,insentif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.    Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka  mengembangkan pelayanan
4.    Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
5.    Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian
6.    Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan
7.    Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
8.  Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang   ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan.
b.    Kewajiban-Kewajiban Rumah Sakit (Pasal 29 UU No.44 Tahun 2009)
1.    Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.
2.    Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
3.    Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya
4.    Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya
5.    Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin
6.    Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,pelayanan gawat darurat tanpa uang muka,ambulance gratis,pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa,atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan
7.    Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien
8.    Menyelenggarakan rekam medik
9.    Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parker, ruang tunggu,sarana untuk orang cacat, wanita menyusui,anak-anak, usai lanjut
10. Melaksanakan sistem rujukan
11. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan
12. Memberikan informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.
13. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien
14. Melaksanakan etika rumah sakit
15. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
16. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional
17. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
18. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit      ( hospital by laws)
19. Melindungi dan memberikan  bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas
20. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.