Welcome to "Hukum Kesehatan"

Blog ini khusus menyajikan informasi seputar masalah hukum dan kesehatan..

Minggu, 17 April 2011

PENEGAKAN HUKUM YANG MANUSIAWI


             Sudah terlampau sering kita mendengarkan pembicaraan tentang penegakan hukum baik  oleh aparat penegak hukum( hakim, jaksa, polisi, advokad) , politisi, akademisi, mahasiswa, pers  dan juga oleh berbagai kalangan masyarakat lainny  Tentunya versi penegakan hukum dari masing-masing kelompok tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang memaknai penegakan hukum sebagai upaya melaksanakan perintah undang-undang, ada yang memaknainya sebagai hak-hak yang harus dipertahankan dan ada pula yang memaknainya sebagai perlindungan hukum atas ketertindasan dari kelompok penguasa.
         Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa pengertian penegakan hukum adalah “suatu upaya untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan”.  Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep tentang keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.
        Sudharto yang dikutip oleh R. Abdussalam (1997:18) mengatakan bahwa penegakan hukum adalah “suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai dan tertib demi kepastian hukum masyarakat”
       Memperhatikan makna penegakan hukum dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penegakan hukum adalah suatu upaya untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum  oleh aparat penegak hukum berupa keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan sosial demi terciptanya tertib hukum masyarakat   
      Dalam proses peradilan pidana, penegakan hukum yang manusiawi adalah upaya mewujudkan keinginan-keinginan hukum oleh aparat penegak hukum terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang menempatkan  tersangka atau terdakwa tersebut sebagai manusia yang berhakat dan bermartabat.
      Dalam praktek peradilan pidana sering terkesan adanya distorsi dalam memaknai penegakan hukum sehingga terkesan adanya kesewenang-wenangan terhadap seseorang yang terbelit masalah hukum baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa mulai dari tahap penyelidikan,penyidikan dan penuntutan dimuka hakim.
        Distorsi yang dimaksud adalah pelaksanaan fungsi dan peran aparat penegak hukum dalam penegakan hukum. Seharusnya dalam upaya penegakan hukum yang diperankan oleh para aparat tersebut adalah upayanya mewujudkan “ keinginan-keinginan hukum “, bukan keinginan-keinginan aparat penegak hukum.  Keinginan-keinginan hukum adalah memberikan keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan tertib masyarakat. Seharusnya hal tersebutlah yang harus di wujudkan oleh aparat penegak hukum, bukan keinginan penguasa, partai politik ataupun suatu organisasi atau golongan tertentu.
         Hukum Acara Pidana Indonesia sangat menjunjung tinggi dan menghargai harkat dan martabat manusia dalam penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan namun dalam pelaksanaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak boleh menelanjangi hak-hak asasi utama yang melekat pada dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. KUHAP tetap menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai manusia berderajat selama dalam proses penegakan hukum yang sementara berjalan.
        Upaya penegakan hukum yang sering dipertontonkan oleh aparat penegak hukum seperti , tangkap saja dulu, kemudian peras pengakuannya dan semua cara adalah halal dalam memperoleh pengakuan tersangka atau terdakwa sudah harus ditinggalkan. Pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diperoleh adalah hasil pemerasan dan pemerkosaan akan hak-hak asasi manusia. Disinilah dituntut kepiawaian dan kecerdasan seorang penyidik dalam melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum pada seorang tersangka atau terdakwa.
       Beberapa hak-hak asasi manusia yang sering ditelanjangi oleh aparat penegak hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa adalah:
1)      Hak equality before the law
            Tidak ada perbedaan di hadapan hukum. Baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum mempunyai hak yang sama di muka hukum. Peraturan hukum yang diterapkan pada seseorang mestinya juga diterapkan pada orang lain pada kasus yang sama, tanpa melihat kedudukan, pangkat, golongan ,agama dan pandangan politiknya. Setiap orang dan siapapun harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dalam upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum

2)      Hak  presumption of innocent
        Setiap orang atau siapapun harus dianggap tidak bersalah atau praduga tak bersalah sampai kesalahannya dapat di buktikan. Pembuktian terhadap kesalahan tersebut harus dilakukan di hadapan hakim dalam sebuah sidang pengadilan yang bebas dan jujur, tidak memihak dan tanpa intervensi kekuatan penguasa ataupun politik  yang dilaksanakan  di hadapan publik.
       Selama tersangka atau terdakwa tersebut belum dapat di buktikan kesalahannya, maka kepada yang bersangkutan tetap dapat memperoleh apa yang menjadi hak-hak yang melekat pada jabatan atau kedudukannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya,  selama tidak diatur dalam suatu ketentuan atau aturan-aturan hukum tertentu.
3)      Hak untuk tidak dibatasi kemerdekaannya tanpa alasan dan bukti yang cukup
        Setiap orang atau siapapun tidak boleh dibatasi kemerdekaannya yaitu berupa penangkapan atau penahanan tanpa bukti permulaan yang cukup atau tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana. Penangkapan atau penahanan tidak boleh semata-mata didasari oleh sikap arogan dan selera para aparat penegak hukum. Bukti permulaan yang cukup dalam KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga ada tidaknya suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang, atau seseorang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.
       Untuk dapat menduga seseorang sebagai bukti permulaan seharusnya dilakukan berdasarkan profesionalisme aparat penegak hukum yaitu berdasarkan atas bukti-bukti dan kesaksian tentang keterlibatan seorang atas suatu perbuatan pidana yang telah terjadi dan bukan atas selera dan arogansi aparat penegak hukum
      Kiranya dalam ruang reformasi bagi penegakan hukum di Indonesia kedepan, tidak lagi terjadi hal-hal yang menempatkan para tersangka atau terdakwa sebagai “ kambing hitam” yang duduk di kursi panas pengadilan karena salah tangkap, atau sengaja di jadikan tumbal untuk melindungi para penguasa, cukong dan konglomerat.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar